Senin, 13 Juni 2011

LAPORAN BUKU PLS

LAPORAN BUKU
BUKU PENDIDIKAN BERBASIS NILAI KEMASYARAKATAN
Karangan : Drs. H. Abdul Latif, M.Pd
Penerbit : PT Refika Aditama, Bandung






OLEH
S H E R L Y
01286/2008









JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Alexis Carel menyatakan:
“Ilmu pengetahuan yang telah mengubah dunia materi, memberi manusia kekuatan untuk mentransformasikan dirinya. Ilmu pengetahuan telah menyikapkan beberapa mekanisme rahasia hidup manusia dan telah pula memperlihatkan kepada manusia bagaimana cara mengubah gerak mekanisme itu, cara mencetak tubuh dan jiwanya menurut pola-pola terlahir dari keinginan-keinginannya. Untuk pertama kali dalam sejarah, umat manusia dengan bantuan ilmu pengetahuan telah menjadi pengatur nasibnya sendiri.
Pada dasarnya pendidikan secara umum memiliki tugas suci dan mulia, yaitu memberdayakan umat manusia sehingga mampu mengaktualisasikan dirinya secara penuh dalam kehidupan didunia dan akhirat. Pendidikan memegang tugas mengtranspormasikan individu-individu menjadi manusia sejati, yakni manusia sempurna yang mampu menggali kecerdasan-kecerdasannya untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah hidupnya. Kecerdasan disini mengasumsikan berbagai jenis kecerdasan yang diperlukan manusia sebagai mahkluk yang berjiwa yang berbeda dengan mahkluk lainnya.
Pendidikan sebagai mesin yang memproduksi pengetahuan akan menguji kembali epistomologi pengetahuan itu sendiri dalam ranah teoritis yang bersifat kognitif dan juga aksionoligi nilai yang diaplikasikan dalam perilaku actual dalam ranah praktis yang bersifat akfektif. Dalam hal ini, pengetahuan-pengetahuan yang sarat dengan nilai-nilai normative perlu mendapatkan telaah yang subtansial dan komprehensif.








BAB II
PENDIDIKAN

A. Pengertian Pendidikan
Dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Philip H. Phenix ketika mendefenisikan pendidikan secara umum, yaitu sebagai suatu process of engendering essential meanings, proses pemunculan makna-makna yang essensial. Enam pola makna yang essensial dapat dimunculkan melalui analisis kemungkinan cara-cara pemahaman manusia yang berbeda-beda. Enam pola makna yang dimaksud olehnya adalah simbolik, empiric, sinoetik, etik dan sinoptik, yang masing-masing memiliki bidang-bidang tersendiri.
H. A. R Tilaar ketika mendefenisikan pendidikan sevagai suatu proses menumbuhkembangkan peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi local, nasional dan global.

B. Tujuan Pendidikan
BAB II Pasal 3 UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan menurut Phenix yakni, manusia utuh yang memiliki keterampilan dalam mempergunakan symbol-simbol, ujaran dan isyarat, serta menciptakan dan mengapresiasikan objek-objek estetik yang bermakna, diberkahi dengan kekayaan serta disiplin kehidupan dalam kaitan dengan dirinya dan orang lain, dapat mengambil keputusan secara bijaksana dan mempertimbangkan kebenaran serta kesalahan, dan memiliki pandangan yang integral.
Syed M Naquib Al-attas menandaskan bahwa tujuan pendidikan adalah menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu bukan hanya sebagai seorang warga Negara ataupun anggota masyarakat.


























BAB III
LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN

A. Keluarga
Istilah keluarga dalam Sosiologi menjadi salah satu bagian ikon yang mendapat perhatian khusus. Keluarga dianggap penting sebagai bagian dari mayarakat secara umum. Individu terbentuk karena adanya keluarga dan dari keluarga pada akhirnya akan membentuk masyarakat.
Fungsi keluarga menurut Abdul Latief adalah
1. Fungsi pengaturan seksual
2. Fungsi reproduksi
3. Fungsi sosialisasi
4. Fungsi afeksi
5. Fungsi penentuan status
6. Fungsi perlindungan
7. Fungsi ekonomis

Subino hadisubroto mengatakan bahwa keluarga hendaknya menjadi tempat tinggal yang membetahkan, menjadi tempat berbagi rasa dan fikiran, menjadi tempat mencurahkan suka dan duka, tidak menjadi tempat bergantung bagi anak-anak akan tetapi sebagai tempat berlatih mandiri, tidak menjadi tempat menuntut hak, menjadikan tempat menumbuhkan kehidupan religius, dan akhirnya menjadi tempat yang aman karena aturan main antaranggota ditegakkan.

B. Sekolah
Sekolah dianggap sebagai sebuah sistem yang secara khusus terkait dengann proses belajar mengajar atau proses pendidikan. Sistem disini diartikan seperti dinyatakan McAshan dan Emmegart secara beruruutan yang dikutip Made Pidarta sebagai strategi menyeluruh atau rencana yang terdiri dari seperangkat unsur yang harmonis, yang merepresentasikan kesatuan unit dimana masing-masing unsure mempunyai tujuan sendiri yang semua berkaitan dalam bentuk yang logis.
Definisi yang keduanya adalah bahwa sisitem dianggap sebagai suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, bagian-bagian tersebut berhubungan sat sama lain, serta peduli terhadap kontek lingkungannya.
Menurut Nikell dan Dorsey sebab pemindahan penyelenggaraan pendidikan dari keluarga kesekolah adalah:
1. Berpencarnya anggota keluarga ke tempat tugas dan kerja masinng-masing setiap hari membawa dampak berkurangnya waktu mengalami kebersamaan dalam berbagai segi kehidupan.
2. Dampak dari industrilialisasi diantaranya adalah terbukanya spesialisasi-spesialisasi yang sangat luas yang menuntut tenaga ahli yang professional untuk mengisi lowongan yang dibutuhkan.
3. Karena industrilialisasi maka fungsi keluarga yang semula sebagai produsen berubah menjadi konsumen dan pembeli.

C. Masyarakat
Abdul Latif mengartikan masyarakat sebagai sekumpulan orang yang hidup di satu wilayah yang memiliki aturan dan norma yang mengatur hubungan satu sama lain. Timbulnya sekolah masyarakat berangkat dari, pertama kenyataan sekolah tidak memadai untuk menampung semua anggota masyarakat yang berkeinginan terlibat dalam proses belajar mengajar. Kedua, adanya gejala disorientasi lembaga pendidikan dalam konteks social.
Pendidikan masyarakat dalam kasus Indonesia-dalam tahapan awalnya memiliki cirri khas yang umumnya ada pada Negara-negara yang mengalami penjajahan. Dalam kasus Indonesia, menurut Djudju Sudjana ketika cenderung melihat pendidikan masyarakat dalam tiga sudut pandang, yakni pendidikan masyarakat sebagai gerakan, pendidikan masyarakat sebagai institusi, dan pendidikan masyarakat sebagai sistem.





BAB IV
HAKIKAT MANUSIA

A. Hakekat Manusia dalam Perspektif Pendidikan
 Empirisme
Teori ini mengembangkan bahwa perkembangan potensi anak tergantung pada lingkungannya, sedangkan pembawaan tidak dianggap penting. Penyataan Jhon Locke (1704-1932) bahwa seorang anak lahir ke dunia dalam bagaikan kertas putih yang bersih. Implikasinya, lingkungan yang dalam hal ini bisa berbentuk keluarga, sekolah atau masyarakat akan menentukan pola-pola mengenai cara pandang tertentu yang ditransfer melalui pendidikan.
 Nativisme
Schopenhaur (1788-1860) menyatakan bahwa bayi lahir sudah dengan pembawaan baik dan buruk. Dengan demikian, keberhasilan berasal dari diri sendiri, berupa kemauan dan kecerdasan. Implikasinya bahwa lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat tidak memiliki peran menentukan dalam karakteristik manusia.
 Naturalisme
J.J Rosseau (1712-1778) menyatakan bahwa semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan baik. Pembawaan baik ini akan rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan.
 Konvergensi
Willian Stern (1871-1939) yang menyatakan bahwa anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan yang baik dan buruk, dan dalam proses perkembangannya faktor pembawaan dan faktoe lingkungan mempunyai peran yang sangat penting.

B. Hakekat Manusia dalam Perspektif Psikologi
 Psikoanalisa
Aliran ini berasumsi bahwa manusia terdiri dari tiga sistem yaitu; Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan) dan Superego (kesadaran normatif). Ketiga komponen ini berinteraksi satu dengan yang lain dan menjalankan fungsi sesuai dengan mekanismenya masing-masing. Selain itu, manusai juga mempunyai tiga strata kesadaran; alam sadar, alam prasadar dan alam tidak sadar.
 Behaviorisme
Aliran ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki pembawaan apapun. Manusia berkembang sesuai dengan stimulasi yang diterimanya dari lingkungan.
 Humanistic
Menurut aliran ini manusia memiliki potensi-potensi baik. Kualitas-kualitas insan tersebut adalah sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia secara alamiah melekat pada eksistensi manusia, seperti kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebasan berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan pribadi, humor, sikap dan estetika.
 Transpersonal
Merupakan pengembangan dari aliran humanistic. Psikologi transpersonal menitikberatkan pada dua unsure penting manusia yakni; potensi-potensi luhur dan fenomena kesadaran.

C. Hakekat Manusia dalam Perspektif Sosiologi
1. Sekitar Pendapat Para Ahli
a) Aristoteles
Berpendapat bahwa manusia adalah zoon politikon artinya makhluk social yang hanya menyukai hidup berkelompok.
b) Bouman
Pendapatnya mendasarkan pada penyelidikan para ahli ilmu jiwa yang menyatakan bahwa setiap diri manusia itu terdapat hasrat-hasrat atau kecenderungan naluri, seperti kecenderungan social dna rasa ingin dihargai.
c) Elwood
Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk biologis, dimana didalam dirinya unsure-unsur keharusan
Emile Durkheim memusatkan perhatian pada sifat solidaritas social, yakni sesuatu yang mempersatukan masyarakat sehingga tidak bercerai berai. Menurutnya bentuk solidaritas dalam masyarakat khususnya modern telah berubah dari mekanis menjadi organis.
Karl Mars menyatakan bahwa kesadaran manusia tidak menentukan keberadaannya, tapi sebaliknya, keberadaan social menentukan kesadarannya. Selanjutnya pandangan Karl Mars dikenal dengan matrelialisme dialektis, yakni manusia terus menerus berinteraksi dengan dunia materi. Individu mengubah, dan bahkan juga diubah oleh dunianya, sehingga kebenaran diungkapkan melalui praktis atau tindakan politik diuji.
Dalam pandangan George Herbert Mead individu menjadi individu hanya melalui aktifitas social. Diri bukan merupakan produk suatu struktur kepribadian yang mendasar yang akan tetap lestari seandainya dia sejak lahir ditinggalkan disebuah pulau tanpa penduduk. Sebaliknya, diri terbentuk karena interaksi dengan orang lain. Diri muncul dan ters menerus muncul dan berubah-ubah.
Max Weber lebih memandang individu sebagai memiliki makna yang subjektif. Dengan asumsi ini dinyatakan bahwa tindakan seorang individu dapat bermakana bagi dirinya dan dapat diakui oleh orang lain.
Alfret Schutz melihat dunia social sebagai bersifat intersubjektif maksudnya, bahwa segala tujuan yang normal dari benda didunia mempunyai makana yang sama bagi seorang individu dan individu lainnya.
Talkcot Parsons melihat realitas sebagai suatu sistem social dimana bagian-bagiannya berkaitan dengan keseluruhan dan dijelaskan berdasarkan fungsi sistem bagi keseluruhan.

2. Sosialisasi individu dalam masyarakat
Pertama, teori sosialisasi pasif dinisbatkan pada perspektif fungsionalisme Talcott Parson yang berpendapat bahwa sosialisasi, seperti belajar, berlangsung terus menerus selama hidup namun prosesnya yang paling dramatis terjadi pada masa anak-anak. Kedua, teori sosialisasi aktif yang bertolak dari anggapan bahwa pada dasarnya tindakan individu dibangun untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Ketiga teori sosialisasi radikal menganggap kelas social yang ada dalam masyarakat sebagai aspek paling penting.

BAB V
PENGETAHUAN

A. Epistemologi (Hakikat dan Sumber Pengetahuan)
Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dar fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gamabaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal.
Pengetahuan menurut idealisme adalah proses-proses mental psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas.
Setelah dibhas tentang hakikat pengethuan, maka uraian di bawah ini akan memaparkan tentang sumber pengetahuan yang meliputi:
1. Empirisme
Empirisme adalah aliran yang menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Aliran ini dipegangi oleh tokoh-tokoh seperti John Locke dan David Hume. Keduanya yakin bahwa manusia lahir dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan bawaan, tetapi pengalaman pengindraan yang membentuk pengetahuannya.
2. Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Aliran yang dipelopori oleh Descrates dan didukung Spinoza ini pada dasarnya tidak mengikari kegunaan indra dalam pengetahuan hanya saja sebatas sebagai data. Data-data tersebut tidak akan bermakna jika tidak dihubungkan satu sama lain yang dilakukan oleh akal. Kombinasi dari kedua aliran ini yakni yang menekankan pengalaman empiris dan penggunaan akal melahirkan metode ilmiah atau pengetahuan sains, yang kemudian disempunakan dengan positifisme August Comte dan Immanuel Kant.
3. Intuisi
Nietzche menyebut intuisi sebagai intelegensi yang paling tinggi, dan Abraham Maslow menganggapnya sebagai pengalaman puncak, maka Henry Bergson lebih cendrung menyatakan bahwa intuisi adalah hasil dari evaluasi pemahan yang tertinggi.

4. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan tuhan kepada manusia melalui utusan. Perbedaan wahyu dengan pengetahuan ilmiah adalah titik tolak, dimana wahyu berpijak pada keyakinan yang kemudian dibuktikan dengan pengetahuan ilmiah.

B. Cara Kerja Otak
Tony Buzan seperti dikutip oleh Gordon Dryden dan Jeannette Vos, berkata “ otak anda terdiri dari triliunan sel otak. Setiap sel otak adalah seperti gurita kecil yang begitu kompleks. Ia memiliki sebuah pusat, dengan banyak cabang, dan setiap cabang memiliki banyak koneksi. Tiap-tiap sel otak tersebut jauh lebih kuat dan canggih dari pada kebanyakan computer di planet ini. Setiap sel tersebut berhubungan dengan ratusan ribu sampai puluhan ribu sel yang lain, dan mereka saling bertukar informasi. Ini sering disebut dengan jaringan yang paling memesona, benda yang begitu kompleks dan indah. Dan semua orang memilikinya”.
Kecanggihan dan keunikan otak disimpulkan oleh Howard Gardener seperti dikutip Gordon Dryden dan Jeannette Vos seperti berikut:
1. Kecerdasan linguistic
2. Kecerdasan logika
3. Kecerdasan musical
4. Keccerdasan spasial dan visual
5. Kecerdasan kinestetik
6. Kecerdasan interpersonal
7. Kecerdasan intra personal








BAB VI
NILAI

A. Nilai sebagai Perwujudan Diri
Louis Katsoff menyatakan kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefenisikan tidak berarti nilai tidak bisa dipahami. Perwujudan diri adalah perwujudan potensi-potensi diri menjadi nyata. Potensi-potensi yang dimaksud adalah kemampuan positif seperti kemampuan untuk menjadi rasional, bermoral, mencari pencerahan, atau perenangan akal budi dan seterusnya.
Ideology-ideologi konservatif, fundamentalism, intelektualisme, dan conservatism menyatakan bahwa nilai tertinggi adalah perwujudan diri, dan perwujudan diri tersebut hanya bisa dicapai secara tidak langsung, dengan cara mengenali dan menaati hokum alam atau hokum Tuhan.
Sedangkan ideology-ideologi liberal-liberalisme, liberasionisme, dan anarkis sama-sama menganggap nilai tertinggi adalah sebentuk perwujudan diri seperti yang dinyatakan ideology-ideologi konservatif. Dalam kaitannya dengan pendidikan, golongan Fundamentalisme relijius bersifat anti-intelektual, maksudnya, pendidikan diupayakan untuk mempertegas penerimaan yang relative tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan meminimalisasi pertimbangan-pertimbangan filosofis atau intelektual.
Sementara itu, Fundamentalisme sekuler dengan semangat yang sama, yakni anti-intelektual, mengembangkan pendidikan yang bertujuan untuk menerima konsesus social yang sudah mapan seperti tentang patriolisme dan naturalism dengan relative tanpa kritik. Keduanya merefleksikan sebuah cara pandang yang kaku terhadap sebuah kebenaran hanya saja yang religius basis pijakannya adalah agama, sementara ynag sekuler menjadikan konsensus social sebagai pijakannya.

B. Cara Memperoleh Nilai
Menurut Abdul latief cara memperoleh nilai yaitu, Pertama pencarian kebenaran dan keutamaan melalui filsafat, yakni melalui cara berfikir kontemplatif. Melalui filsafat seseorang dapat menemukan makna dari suatu yang abstrak atau makna yang ada dibelakang objek yang konkret.
Kedua, nilai diperoleh melalui paradigm berfikir logis-empiris. Paradigma ini merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang selalu memerlukan bukti-bukti nyata dalam menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu.
Ketiga, pendekatan nilai diperoleh melalui hati dan fungsi rasa, cara ini tidak mempertimbangkan pemikiran logis atau logis empiris. Karena nilai atau pengetahuan dengan cara ini masuk melalui pintu intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati.

C. Internalisasi Nilai Moralitas Masyarakat dan Agama
Aronfreed dan kohelberg menyatakan seperti dikutip Asih Menanti, yakni:
1. Teori psikoanalisa
Seorang dinyatak bermoral apabila tindakan-tindakannya sesuai dengan nilai-nilai, aturan-aturan yang berlaku di masyarakat saat itu, dan sebaliknya.
2. Teori behavioristik
Cara pembentukan moral menekankan proses belajar moral melalui hubungan stimulus-respon, yakni dengan memberikan ganjaran bagi pembentukan tingkah laku dan member hukuman untuk menghukumnya.
3. Teori kognitif
Teori ini mengasumsikan adanya tahap-tahap yang berurutan dalam pelaksanaan moral. Teori ini tida mempertanyakan tindakan apa yang bermoral tetapi mempertanyakan pertimbangan apa yang digunakan dalam suatu keputusan atau tindakan.

Tahap-tahap perkembangan moral dikembangkan oleh Moran yang dikutip oleh M.I Soelaeman seperti berikut:
1. Anak-anak
Dunia religius anak-anak masih sangat sederhana sehingga disebut juga dengan the simply religious. Pada saat itu anak-anak memang belum dapat melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri, bahkan pada tahap yang sederhanapun. Pada saat ini, anak harus memercayakan banyak hal kepada pendidiknya. Sehingga pendidikn agama sering dilakukan dengan bercerita.


2. Remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Ada kalanya remaja mengambil keputusan yang kadang tidak sejalan dengan kebiasaan atau tradisi yang berlaku, sehingga ia tampang menentang dan menantang arus. Pada saat ini pendidik dan orang tua perlu mengundangnya untuk masuk dunia religius dan menciptaka situasi agar dia betah mendiaminya.
3. Dewasa
Pada saat ini seseorang mencapai tahapan kedewasaan beragama, yakni mampu merealisasikan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari atas dasar kerelaan dan kesungguhan dan bukan hanya sekedar puasan diluar.





















BAB VII
INTEGRASI MATERI DAN METODOLOGI

A. Reafirmasi Materi Pengajaran Agama
Amin Abdullah mengatakan bahwa pemikiran muslim terlalu rigid, puritan, dan dikotomis dalam memecahkan persoalan. Konsekuensinya muslim cenderung kurang berfikir secara sintesis, elastic, dan pragmatis.
Uraian yang bertolak pada dua asumsi dasar tentang pendidikan agama, yakni:
1. Orientasi pada keselamatan individu.
Amin Abdullah ketika mengatakan bahwa salah satu ciri pendidikan dan pengajaran di era klasik-skolastik adalah sifatnya yang terlalu menekankan keselamatan yang didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri seorang individu dengan Tuhan-nya.
2. Orientasi pada keselamatan individu dan kelompok
Kesamaan akan keyakinan akan menimbulkan persamaan identitas yanga akan membentuk komunitas yang homogen dan membentuk cara pangandang yanag relative monolitik. Pemahaman terhadap agama seperti ini menganggap bahwa orang lain tidak memiliki nilai signifikansi yang menambah pengabdian kepada Tuhan.

B. Rekonstruksi Metodologi Pengajaran Agama
R.M Thomas bahwa pendidikan agama memiliki tujuan kognitif dan afektif.
1. Pendidikan agama yang bersifat kognitif
Norma agama yang dijelaskan secara kognitif meniscayakan penyesuaian dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik. Ini berati bahwa pendidikan agama yang diajarkan harus disesuaikan dengan kecerdasan linguistic dan logika peserta didik.
2. Pendidikan agama yang bersifat afektif
Aspek afektif dari pendidikan agama bertolak dari asumsi bahwa secara umum nilai-nilai agung agama dalam kaitannya dengan manusia dan tuhannya dan sesame mahkluk bukan hanya menjadi sekumpulan norma-norma teologi dan hukum retoris yang bisa ditransfer dari pikiran ke pikiran lainnya, sebab dalil-dalil keagamaan ini pada dasarnya mudah dipahami dan dimengerti oleh orang lain dengan kemampuan-kemampuan dasar secara umum karena menggunakan penalaran logika dan kaidah-kaidah bahasa yang logis.
C. Produk Penelitian
Phenix menkonsepkan tujuan pendidikan adalah menciptakan individu yang memiliki kemampuan dalam mengaktualisasikan makna-makna symbol dan empiric dari materi pendidikan agama, yakni manusia mampu mengenali dan memahami symbol-simbol dan kenyataan yang berlaku sesuai dengan aturan social dan berkaitan dengan bahasa dan aspek yang bisa dicerna berdasarkan akal sehat. Dengan kata lain, pendidikan akan memproduksi manusia yang rasional, social dan spiritual. Integrasi yang sempurana dari wujud manusia ini menjadi tujuan akhir dari pendidikan yang ideal.























BAB VIII
ISU GLOBAL PENDIDIKAN

A. Pendidikan Untuk Semua (Education For All)
The World Summit on Education for all di Jontien pada tahun 1990 yang diprakarsai oleh UNESCO menghasilkan deklarasi dunia tentang education for all. Tujuan akhirnya adalah memenuhi kebutuhan belajar dasar anak-anak, pemuda dan orang dewasa. World Education forum yang diadakan di Dakkar pada tanggal 26-28 April 2000 mengisahkan Education for all sebagai kerangka program aksi yang memuat 6 komitmen yaitu:
1. Memperluas dan meningkatkan PAUD
2. Menjamin perempuan dan anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar yang berkualitas
3. Menjamin agar kebutuhan belajar generasi muda terpenuhi melalui program pendidikan keterampilan hidup
4. Menurunkan tingkat buta huruf
5. Mengapus disparitas gender
6. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan

B. Pendidikan Anak Dini Usia (Early Childhood Education)
Erikson menyimpulkan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai seorang manusia. Prilaku yang berkelainan pada orang dewasa dapat dideteksi pada anak-anak. Menurut hasil penelitian ahli syaraf dinyatakan bahwa, perkembangan otak manusia yang paling pesat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Perkembangan otak yang optimal dimungkinkan jika anak diberi rangsangan yaitu pemberian gizi yang memadai, peralatan kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Pengembangan kecerdasan anak usia dini meliputi:
1. Kecerdasan linguistic
2. Kecerdasan logika
3. Kecerdasan musical
4. Keccerdasan spasial dan visual
5. Kecerdasan kinestetik
6. Kecerdasan interpersonal
7. Kecerdasan intra personal

C. Pendidikan Orang Dewasa
Knowles mendefinisikan andragogi dengan seni dan ilmu dalam membentuk orang dewasa untuk belajar, sedangkan pedagogi adalah seni dan ilmu nuntuk mengajar anak-anak.
Pendidikan orang dewasa didefinisikan menurut UNESCO Town Sendcoles dalam Lanudi yaitu keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan apaun isi tingkatan, metodenya baik formal atau tidak yang melanjutkan atau menggantikan pendidikan semula disekolah yang membuat orang dewasa mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, meningkatkan kualifikasi teknis atau profesionalnya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam pengemabangan social ekonomi dan budaya yang seimbang dan bebas.

D. Pendidikan Seumur Hidup (Life Long Education)
Masyarakat akademisi menyatakan bahwa istilah pendidikan seumur hidup pernah dipopulerkan oleh Adam Smith pada tahun1919. Secara tersirat Yeaxlee pada tahun1929 dan Bachelard pada tahun 1930 dan akhirnya dipopulerkan Edgar Faure pada tahun 1960 dalam program UNESCO PBB yang secara semantic mengistilahkan pendidikan seumur hidup sebagai usaha setiap individu yang duilakukan secara terus menerus untuk membekali dirinya melalui pendidikan.
Djudju Sudjana mengemukakan bahwa pendidikan sepanjang hayat memberi arah terhadap pendidikan luar sekolah agar jalur pendidikan ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip:
1. Pendidikan berakhir apabila manusia telah mati
2. Pendidikan luar sekolah merupakan motifasi yang kuat bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar seccara sistematis
3. Kegiatan belajar ditujukan untuk memperolah atau meningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan dan aspirasi.
4. Pendidikan memiliki tujuan yang merangkai
5. Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia
BAB IX
TEKNOLOGI INFORMASI DAN PENDIDIKAN

Pendidikan formal yang bersifat kaku telah mendapat sorotan dari para reformis pendidikan seperti Herbert Kohl, Ivan Illich dengan konsep jaringan belajar sebagai sebagai ganti sekolah (deschooling) ketika dia mengganggap instiusi sekolah telah merelatifkan potensi besar bagi akal manusia, dan karenanya pendidikan tidak seharusnya terjebak pada rigiditas kelembagaan yang pada gilirannya menciptakan suatu lingkup kancah kemampuan bernalar terbatas pada lingkungan yang terbatas.
Paulo Freire dengan konsep pendidikan bagi kaum tertindas, karena menurutnya pendidikan selama ini menjadi hak orang-orang yang kaya. John Holt dengan pendidikan lingkungan yang terbuka dan Eric Ashby dengan pendapat tentang revolusi keempat dalam pendidikan tinggi sebagai akibat dari perkembangan teknologi.

A. Asumsi-Asumsi
Seiring dengan munculnya teknologi informasi, pendidik perlu memanfaatkan inovasi-inovasi tersebut. Didasarkan pada asumsi-asumsi menurut Abdul Latif seperti berikut:
1. Pendidikan pada hakikatnya merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anak didik yang berakibat terjadinya perubahan pada diri pribadinya.
2. Pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Mengahruskan adanya kontiunitas dan sinkronisasi dari pendidikan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah
3. Pendidikan dapat berlangsung dimana saja, kapan saja, yaitu pada saat dan tempat yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak.
4. Pendidikan dapat berlansung secara mandiri dan tidak harus melulu berada dalam pengawasan guru
5. Pendidikan dapat berlangsung secara afektif baik dalam kelompok yang homogeny maupun kelompok yang heterogen bahkan perseorangan.
6. Belajar dapat dipeoleh siapa saja dan apa saja baik sengaja ataupun tidak disengaja.

B. Pendidikan dan Teknologi Informasi
Secara lebih rinci pilihan teknologi untuk pendidikan, mulai dari sederhana sampai yang canggih telah dikelompokkan oleh Chute, yaitu:
1. Teknologi audio; fokusnya pada indera pendengaran
2. Teknologi audio dan data; melahirkan aplikasi belajar jarak jauh yang disebut audiografis
3. Teknologi video;
4. Computer based training; sebagai bentuk dari aplikasi teknologi computer sebagai alat penyampaian pelajaran
5. Komputer konferensi; pemayung berbagai kegiatan penerapan teknologi computer untuk menunjang komunikasi antar manusia
6. Pendidikan dan pelatihan di internet;

Menurut Murdick perangkat keras mampunyai lima fungsi yaitu:
a) Input; proses pemasukan data dan perintah ke dalam komputer
b) Processing; proses pengolahan data
c) Output; hasil pengolahan data
d) Storage; temapat penyimpanan data
e) Transmitting; proses penhubungan dua atau lebih computer yang berada ditempat yang berbeda.

C. Kelemahan Komputer Internet
Dalam kaitannya dengan pendidikan, computer memiliki kelemahan seperti yang diungkapkan oleh Dave Meier yaitu:
1. Computer cenderung mengisolasi, Paulo Freire mangatakan bahwa “pengetahuan timbul hanya melalui penemuan-penemuan, melalui pencaharian dalam kegelisahan dan ketidaksabaran, yang dilakukan secara terus menerus”
2. Computer cenderung membuat orang pasif secara fisik,
3. Cenderung hanya cocok untuk satu program pembelajaran
4. Computer cenderung berdasar media dan bukan pengalaman

Larry Cuban mengatakan ”seluruh publisitas yang menggemparkan mengenai internet telah mengaburkan isu yang lebih mendalam dan lebih penting dalam pembelajaran, yaitu tentang cara kita mengajar anak-anak untuk mendapatkan keterampilan dasar dn berfikir secara mandiri
Todd oppenheimer “sekolah bukanlah semata-mata menyangkut informasi, melainkan mengajak anak-anak memikirkan tentang informasi. Sekolah mengajarkan pemahaman, pengetahuan dan kearifan”.
























DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 1996. Aspek Epistemologis Filsafat Islam, Yograkarta: Pustaka Pelajar

________________. 2001. Pengajaran Kalam dan Teologi dalam Era Kemajemukan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode, dalam “Pluralisme, Konflik dan pendidikan Agama di Indonesia”. Eds. Sumarta dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ancok, Djamaluddin dan Fuad Nashori Suroso. 2005. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakar, Osman. 1994. Tahwid dan Science: Essay on the History and Philosophy of Islamic Science. Alih bahasa Yunani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah.

Bakar, Usman Abu dan Surohim. 2005. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Safinia Insania Press.

Bakhtiar, Amtsal. 1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos.

______________. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bestor, Arhur. 1999. Dasar-dasar Pendidikan dalam “Menggugat Pendidikan”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Carrel, Alexis. 1987. Man: The Unknown. Alih bahasa Kania Roesli. Bandung: Remaja Karya.

Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan

Dryden, Gordon dan Jeannette Vos. 1999. The Learning Revolution, alih bahasa Word Translation Servise. Bandung: Kaifa

Fadjar, A. Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Ghosh, Ratna. 1996. Redefining Multicultural Education. Canada: Hartcourt.

Hadisubroto, Subino. 1992. Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga, dalam “Hakikat Tujuan Pendidikan Nasional”. Bandung: University Press IKIP.

Horton, Paul B & Chester L. Hunt. 1996. Sosiology, alih bahasa Amiruddin Ram & Tita Sobari. Jakarta: Erlangga.

Joesoef, Soelaiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara

Kattsoff, Louis O. 1989. Element Of Philosopy, alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana

Komar, Oong. 2006. Filsafat Pendidikan Non Formal. Bandung: Pustaka Setia.

Makmun, Abin Syamsudin. 2002. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mansyur, M. Cholil. t.t. SociologI Masyarakat Desa dan Kota. Surabaya: Usaha Nasional.

Menanti, Asih. 2002. Pendidikan Moral dalam Keluarga untuk Menghadapi Kehidupan Abad-21, dalam “Hakekat Tujuan Pendidikan Nasional”. Bandung: University Press IKIP.

Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alpabeta.

Nasution, S. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

O’neil, William F. 2002. Education Ideologies, alih bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Phenix, Philip H. 1964. Real Of Meaning: Philosophy of the Curriculum for General Education, New York: McGraw Hill Book Company.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwanto, Ngalim. 2003. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Rosdakarya.

Robinson, Philip. 1986. Perspectives on the Sosiology of Education: an Introduction, alih bahasa Hasan Basari. Jakarta: Rajawali.

Soelaeman, M.I. 1988. Suatu Telaah tentang Manusia-Religi-Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Solihin, M. 2003. Tasawuf Tematik: Membedah Tema-tema penting Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Sudjana, Djuju. 1992. Peranan Pendidikan Masyarakat dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional, dalam Hakikat Tujuan Pendidikan Nasional. Bandung: University Press IKIP.

_____________. 1992. Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara.

_____________. 2000. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suprijanto. 2007. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Syarif, M.M. 1976. Islamic and Education Studies. Lahore: Institute of Islamic Culture.

Thomas, R.M. 1987. Religious Education dalam “International Encyclopedia of the Socioligy of Education”. Ed. Lawrence J. Saha, United Kingdom: Pergamon.

Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tirtarahardja, Umar & Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar